Rabu, 15 September 2010

Batuk Sinabung, Toba dan Black Hole

Sangat rasional jika “batuknya” Sinabung dikaitkan sebagai indikasi akan ketakseimbangan sturuktur bukit barisan yang mengakar sampai ke pesisir Sumatera. Dan amat logis pula, jika kemudian kekhawatiran terbesar adalah dampaknya terhadap konsistensi penopang Danau Toba seperti dilansir beberapa media, mengutip pridiksi ilmuwan. Apalagi wacana menyebut, Samosir kini retak, rawan terbelah dua. Getaran Sinabung tentu membentuk pola baru dalam lapisan tanah, di persekitaran Danau Toba.


Mari kita membayangkan teori Black Hole, Stephen hawking. Lalu mari kita membayangkan peta Danau Toba dengan Samosirnya (tapi pakai peta terbaru) Mari turun melihat pesisir-pesisir danau yang tebingnya rawan runtuh. Mari kita naik agak ke atas tebing itu, dan lihatlah tak ada lagi penopang air di sana . Bukankah Sabulan dan Bulu Silape sudah buka calak? Katakan padaku daerah penopang mana di Danau Toba yang masih utuh?

Jika kemudian Danau Toba menjadi imbas, bisa dibayangkan Samosir akan lebur, tersedot danau, yang lalu membentuk pusaran air. Tentu kemudian ini menyeret juga pebukitan di sekitarnya yang memang rapuh, lapuk dengan tanah yang busuk, seperti mental pemkab-pemkabnya.
Bisa jadi daratan tinggi Batak, yang selama ini menjadi benteng akan runtuh, sehingga menyedot daerah-daerah lain di sekitarnya, termasuk Padang, Kerinci (Jambi) yang kontur alam dan tekstur tanah mirip dengan geologis Danau Toba, karena memang masih satu gugusan.

Sinabung memang bukan tipe A, seperti merapi. Ini karena pemerintah tak paham soal gunung. Dimana-mana gunung yang pucuknya lancip itu berbahaya, bukan soal kandungan magma, tapi potensi penyumbatan. Lagian apa ada gunung yang tak bermagma, selain “Gunung Tirtandi” itu.

Gunung itu terbentuk karena memang ada dorongan dari dalam tanah. Dorongan yang berasal dari pijar panas. Dan itu bernama magma. Inilah kalau petugas kita tak pernah naik gunung. Tak pernah sholat di puncak menjelang sunrise.

Dan pejabat kita cuma pandai buat villa di puncak, supaya ada tempat ia menyimpan gendiknya. Pola pemerintah kita memang beda. Potensi dampak buruk dikurang-kurangi, untuk selalu mempertahankan pencitraan. Tengoklah Jepang, masih sebulan mau gempa sudah ada aba-aba dari pemerintahnya. Kasus lain, misalnya TKI. Yang divonis mati 170 orang, pemerintah bilang cuma 3.

Buktinya waktu 200 ribuan orang mati ketika tsunami, apa ada dibuat hari berkabung nasional khusus, malah orang luar yang buat tugu peringatan di sana …

Pun kasus Sinabung, suka nyembur dulu laharnya ke istana supaya tahu mereka sakitnya.
Gunung Tambora aja yang puncaknya kayak lapangan golf ngeri kalau meletus.

Sial…. Sial…. Sial……..

Pernah suatu waktu ketika hiking di Sinabung, akuterkejut karena ada seorang sibaso yang bilang bahwa di 
Lau Kawar ada sebuah istana. Di dalamnya ada gambar SBY dan (waktu itu masih) JK. Tapi tanpa burung Garuda!

Enak aja dia bilang enggak berbahaya. Ini bukan soal “melembutkan” hati rakyat atau meredakan kepanikan, atau asas kepatutan yang gombal itu, ini soal intropeksi………. Seperti kata Darwin ; Manusia karena kutukan moral dan intelektualnya harus menuhankan Tuhan. Dan Tuhan itu ada di pucuk pohon, batubatu, tebing-tebing, jurang-jurang, semak-semak, cacing, semut, bukan di kelamin….

Lalu sibaso itu bilang pada sepasang anak muda yang ngecamp itu.”Hey kamu kenapa suka telanjang-telanjang dalam tenda, kalian kan belum kawin.”

Alamak sakit kali kurasa. Oih datanglah Nini Sitepu bawa sekalian nagamu. Remuk kali perasaan ini ketika tak bisa aku melakukan apa-apa

Ketika melamunkan ini, tiba-tiba seekor cicak nyemplung ke gelas kopi saya. Tapi saya tetap menghabiskan sisanya. Saya menolak takdir, sebagaimana saya akan terus menolak TPL!
◄ Newer Post Older Post ►