Kamis, 16 September 2010

Sejarah Budidaya Udang Laut

Pembaca sekalian, jika Anda bertanya, bagaimana budidaya udang bisa seperti sekarang ini ? Maka ini mungkin kira-kira jawabannya. Kalau membahas yang tradisional kawasan Asia Tenggara jagonya. Sama juga nasibnya dengan budidaya udang. Jadi leluhur kitalah yang pertama membesarkan udang. Kalau dibilang membudidaya orang luar agak sensi, karena SOP moyang kita cuma buka gerbang tambak saat air pasang biarkan benih liar masuk, lalu panen kalau sudah besar. Gak ada keren-kerennya.
Nah, biasanya pula kalau membahas yang canggih dan wah sumbernya itu Eropa, AS, atau Jepang. Tidak salah juga tebakan kita kali ini. Jadi si Motosaku Fujinaga ahli ichthyology dari Universitas Tokyo (foto diatas Fujinaga paling kiri) orang yang pertama mampu mengawinkan dan memijahkan udang laut berjenis Udang Kuruma (Penaeus japonicus) berukuran 6 inchi.  Udang ini adalah idola orang Nihon yang digoreng lama sebagai tempura atau dikuliti hidup-hidup seperti sushi yang biasa Saya makan.



Notes: Kawin vs mijah?
Betul kawin dan mijah waktunya sama bagi ikan tapi beda bagi udang. Kawin itu mengeluarkan sperma dan memasukkannya dalam tubuh betina. Kalau memijah itu mengeluarkan telur untuk dibuahi sperma. Sperma udang disimpan dalam kantung sperma jadi awet dan disimpan dalam kantung thelycum betina.
Permintaan yang tinggi ini membuat Jepang overexploited kuruma. Perairan local hanya menghasilkan 3,000 ton sedangkan4,000 ton lainnya diimpor. Tapi sayang yang diimpor seringkali jauh dari segar saat mereka tiba. Harga akhirnya melambung $20 per kg. Setelah meneliti selama 30 tahun (wow lamanya!) Dr. Fujinaga mampu membudidayakannya secara komersil.
Untuk ini beliau harus begadang agar tak ketinggalan melihat udang kawin. Malam demi malam hanya berbekal sentolop beliau tongkrongin itu udang. Jadi akhirnya senter pada saat tengah malam yang tenang sekitar tahun 1940an beliau melihat rahasia alam yang jarang dilihat manusia. “Udang jantan merayu betina dan betina merespon dengan melepas cangkangnya. Si jantan mencumbu betina tapi akhirnya betina melucuti kantong sperma jantan seluruhnya”
Namun pengamatan ilmiahnya ini hanya mendatangkan sedikit nilai praktis. Setelah menguji tak terhitung banyaknya mikroba laut Beliau kemudian menyimpulkan bahwa alga Skeletonema adalah yang terbaik. Namun benih ini tak dapat hidup lebih lama lagi.
Berkat Tuhan, tahun 1955, sebagai kepala Japan's Fisheries Agency Research Department, Beliau pergi ke konferensi perikanan di Washington. Nah bertemulah beliau dengan artemia dan inilah awal kesuksesannya.
Kemudian beliau bekerjasama dengan beberapa perusahaan perikanan dan merancang usaha pertama kalinya di Iku-shima yang terletak di P. Shikoku dengan 30 pekerja. Tempat ini menjadi terkenal karena udangnya. Benih berukuran ¼ inch dipindah ke kolam luar dan diberi makan telur kerang dan artemia. Selanjutnya diberi pakan ikan cacah.
Beliau mempublikasikannya selama lebih dari 40 tahun mulai 1935, 1941, 1942 dan 1967.  Kaisar Hirohito member penghargaan kepadanya dengan gelar “Bapak Budidaya Udang Japonicus”.
Setelah menjabat kepala Director of the Research Bureau of the Japanese Fisheries Agency, tahun 1954 Fujinaga pension dan 1963, bersama teman-temannya memulai bisnis tambak udang. Beliau memakai tanah terbengkalai sebagai tambak semi-intensive disamping ide  asli beliau yakni tambak super-intensive.  Tahun 196, National Geographic magazine melaporkan: “Setelah bertahun-tahun bekerja keras dengan keberhasilan teknis yang brillian, Dr. Fujinaga kembali sukses dalam bisnisnya. Fujinaga juga diberi gelar “Bapak Budidaya Udang Modern Ted dan Kochi anaknya, bekerja sebagai konsultan budidaya udang di Asia Tenggara.
 Tahun 1964, J. Kittaka mengembangkan teknik outdoor untuk mencontoh alam dan 1973, Mitsui Norin Marine Company, Ltd. lewat Kuni Shigueno mengembangkan dasar bak berganda. Tahun 1992  Jepang menghasilkan 3,000 metric tons (basah), dari 150 tambak semi-intensive dan intensive seluas 400.  Di Kagoshima, pembudidaya menggunakan kolam tanah bulat besar dan menghasilkan 15,000-20,000 kgs/tahun. Walaupun iklim dingin dan biaya tinggi tidak menjadi masalah karena harga udang sangat tinggi.
Tapi bukan Amerika kalau mau kalah. Tahun 1950, Department of Interior’s Bureau of Commercial Fisheries (berubah menjadi U.S. Fish and Wildlife Service) mendirikan sebuah lab di Galveston, Texas, untuk menyelidiki pasang merah yang membunuh populasi besar biota laut penting.  Akhirnya proyek ini mampu mengembangkan teknik budidaya fitoplankton dan tahun 1958, dikembangkan teknik pemeliharaan larva dengan kultur fitoplankton secara terpisah dan lahirlah “Galveston Hatchery Technology”.
 Setelah teknik ini menyebar, konsultant, perusahaan besar, perusahaan pakan, dan investor membawanya ke America Latin, terutama Honduras, Panama, Brazil dan Ecuador. Mereka bersinergi dengan pengusaha local untuk membangun farm, hatchery dan pabrik tepung dan pemrosesannya.  Seluruh dunia, peneliti dan pembudidaya menguji lusinan spesies penaeid yang berpotensi. Sebagian bekerja pada pengembangan teknik pemuliaan dan pemijahannya sedangkan yang lain menekuni pembesaran, nutrisi dan penyakitnya. Ini kemudian menjadi dasar bagi perkembangan industry berikutnya selama 2 dekade.
Perkembangan Japonicus diikuti oleh keberhasilan Monodon di Taiwan dan Indonesia pada tahun 1970an. Vannamei mengikuti langkah berikutnya pada tahun 1980an sehingga sekarang menjadi yang dominan dikultur. Arah teknologi yang mencari spesies yang mampu tumbuh cepat dan berdaya tahan tinggi terhadap penyakit mempercepat langkah itu. Bahkan sekarang sedang dikembangkan udang baru di Aceh (terkenal sebagai sumber induk alam untuk monodon) yang dikenal dengan Udang Lambouh/Kelong.


◄ Newer Post Older Post ►