Kamis, 16 September 2010

Kubur Ikan Sekaligus Mimpikan "Kapal Induk"

IDE menciptakan "kapal induk" sudah muncul dibenak masyarakat  Kelurahan Haranggaol. Namun, kapal induk dalam benak mereka bukanlah kapal induk yang terbuat dari baja dan menampung ratusan pesawat tempur seperti milik Amerika Serikat. Akan tetapi, kapal induk dari gabungan keramba yang disambung-sambung dengan gubuk peristirahatan di atasnya, serta jembatan ponton di tengahnya.

Kalau dibuat seperti itu, keramba akan tampak bersusun rapi,  indah dan menarik perhatian," ujar Lurah Haranggaol Makdin Saragih   (49), saat ditemui Kompas di kantornya beberapa waktu lalu.

Menurut dia, ide itu pernah dilontarkan saat bertemu pejabat pemerintah dan anggota DPRD Kabupaten Simalungun. Kehadiran keramba di beberapa bagian pantai Danau Toba, salah satunya di Haranggaol memang membawa pro-kontra.

Di satu sisi, keramba jelas meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bukan hanya memberikan penghasilan tambahan, bahkan telah  menjadi penghasilan utama sebagian besar pemiliknya.

Di lain pihak, penentang merasa khawatir kehadiran keramba yang terus menjamur akan merusak industri pariwisata Danau Toba. Pertama,  kehadirannya yang terus menjamur merusak pemandangan alam Danau Toba.  Kedua, jumlahnya yang semakin banyak juga dikhawatirkan akan menjadi biang pencemaran dan rusaknya ekosistem. Pencemaran dicurigai akan datang dari sisa-sisa pakan serta bangkai ikan yang setiap hari dibuang ke dalam danau terbesar di Indonesia ini.
                      
SAAT ini, jumlah keramba di Haranggaol saja sudah lebih dari  1.000 buah, tersebar secara serampangan menutupi permukaan Danau Toba. Asal mempunyai modal, 830 keluarga yang tinggal di Kelurahan  Haranggaol dapat membuat keramba di mana mereka suka. Padahal, di antara mereka saat ini baru 144 keluarga yang memiliki keramba.
Rata-rata setiap keluarga memiliki empat keramba. Sisanya, dipunyai  oleh beberapa pengusaha setempat.

Menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Simalungun, keramba di Pantai Haranggaol hanya boleh berada di dua zona perikanan yaitu zona Simarbabi dan Tuktuk Sipalu. Sementara, masyarakat lebih berminat mendirikan di zona Simarbabi. Sebaliknya, tidak ada yang mau membuat keramba di zona Tuktuk Sipalu karena akan diterpa ombak besar saat musim angin kencang antara bulan Juni dan Juli.

Saat ini, selain pembagian zona yang belum terlaksana efektif  tersebut, belum ada aturan yang jelas tentang siapa yang berhak membuat keramba di Pantai Haranggaol dan bagaimana ketentuannya.

"Jadi, asalkan masih di kedua zona tersebut, siapa saja berhak mendirikan keramba. Tetapi, keramba yang baru tidak boleh mengganggu milik orang lain yang sudah lebih dahulu mendirikan, silakan saja," jelas Makdin.

Namun, kenyataannya keramba bertumbuh terus di luar zona yang ditentukan. Akibatnya, seperti tampak saat ini, seluruh keramba yang berukuran rata-rata 4,2 meter persegi dengan kedalaman enam meter nyaris menutupi seluruh bibir teluk di Kelurahan Haranggaol.  Pemilik berebut mengkapling tempat dekat daratan supaya mudah mencapai keramba saat hendak memberi makan ikan, memanen, sekaligus untuk mengawasi.

Untuk mencapai keramba mereka, saat ini pemilik memanfaatkan rakit yang terbuat dari dua drum. Ada juga yang memanfaatkan sampan, atau bagi yang lebih bermodal menggunakan perahu bermotor yang lebih besar. 
                              
RASANYA tidak adil, jika dengan alasan demi industri pariwisata yang tak juga pernah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Haranggaol, keramba tersebut harus disingkirkan. Faktanya, keramba telah menjadi tumpuan kesejahteraan yang menjanjikan bagi warga Haranggaol.

Akan tetapi, kekhawatiran mereka yang menentang kehadiran keramba juga patut diperhatikan.
Ambil contoh, potensi pencemaran bangkai ikan budidaya keramba yang mati. Jika rata-rata 15 persen ikan mas yang dipelihara mati, sedikitnya 501.600 ekor bangkai ikan mas dibuang ke dalam danau dalam tempo 4,5 bulan.

Angka tersebut diperoleh dengan memperhitungkan bahwa total ada 836 keramba dan setiap keramba diisi 4.000 ikan mas. Katakanlah diambil tengah-tengahnya, berat setiap ekor ikan mati 0,25 kilogram, maka total 125,4 ton. Jadi, setiap hari sekitar satu ton bangkai ikan mas dibuang.

Jumlah tersebut masih ditambah 787.500 ekor bangkai ikan nila yang bersumber dari 300 keramba dalam tempo delapan bulan, atau 197 ton. Maka setiap harinya ada 0,8 ton bangkai ikan nila. Jadi, total di Haranggaol saja setiap hari sekitar 1,8 ton bangkai ikan dibuang ke dalam danau. Padahal, Haranggaol bukan satu-satunya bagian Danau Toba yang digunakan memelihara ikan dalam keramba, masih ada Pangururan, Simanindo, dan lainnya.

Sekarang persoalan bangkai ikan memang belum merisaukan. Namun, jika bangkai ini terus dibuang ke Danau Toba, satu saat kemampuan alam untuk menguraikan tidak lagi memadai. Bisa dipastikan ini akan menjadi masalah besar. Bukan hanya bagi industri pariwisata di Danau Toba, tetapi juga bagi budidaya ikan dalam keramba dan masyarakat yang hidup di sekitar Danau Toba.

Saat ini saja, menurut Jhoni Hutabarat, Supervisor Teknis Budidaya PT Charoen Phokpan di Haranggaol, dalam air danau ditemukan bakteri jenis Pseudomonas,  Escherichia, dan Streptococcus dengan jumlah koloni yang dianggap mulai mengganggu kesehatan ikan nila hitam yang lebih mudah terserang penyakit.
   
"Bakteri itu bersumber dari kotoran manusia dan bangkai ikan. Akan tetapi, budidaya ikan mas bisa dikatakan belum mengganggu karena daya tahannya lebih bagus daripada ikan nila," jelas Jhoni.

Patut diperhatikan, dengan terus bertambahnya jumlah ikan yang dipelihara seiring bertambahnya keramba, akan bertambah juga jumlah bangkai ikan yang diproduksi. Pada akhirnya, bangkai itu dapat menjadi ancaman serius.

Jhoni sendiri selaku supervisor teknis yang lebih mengerti mengakui, seharusnya bangkai tersebut tidak dibuang ke dalam danau, tetapi dikumpulkan dan dikubur. Akan tetapi, mengingat jumlah bangkai yang banyak, bahkan satu hari pernah mencapai dua ton, cukup sulit mendapatkan tempat mengubur bangkai yang terus bertambah tersebut.

"Saat ini, saya tengah mengusulkan ke kantor supaya dibuatkan mesin oven untuk membakar dan menghancurkannya," katanya.

Sebagian masyarakat, menurut Hotdin Purba, ada yang memanfaatkan ikan yang mati tersebut untuk campuran makanan babi, setelah direbus sampai masak terlebih dahulu. Padahal, di Kelurahan Haranggaol hanya ada tiga keluarga yang memelihara babi, sehingga jumlahnya masih terlalu sedikit dibanding jumlah bangkai ikan yang terbuang.
                             

SEBENARNYA, persoalan yang muncul mestinya bisa diatasi tanpa harus menggusur keberadaan keramba di Danau Toba. Ide menata keramba dalam dua barisan panjang ke tengah danau menyerupai kapal induk bisa jadi merupakan win-win solution terbaik. Dengan penataan kembali, persoalan banyaknya keramba yang berserakan merusak pemandangan bisa teratasi.
   
"Kami mengharapkan bantuan pemerintah, sekaligus wewenang untuk menertibkan keramba yang ada, bukan melarang tetapi menata pada zona yang tersedia," ujar Saragih.

Lebih jauh, menurut Saragih, sangat naif untuk menunggu kesadaran masyarakat, karena di antara mereka juga saling tunggu dan berharap ada yang memulai.
   
"Kalau ide kapal induk itu terwujud, pasti tempat ini akan semakin ramai dikunjungi orang. Selain ditata, pemilik keramba juga pasti tidak keberatan disuruh mengecat dan membentuk kerambanya menjadi lebih indah dan tidak kumuh. Gubuk peristirahatan di atas setiap keramba pun dibentuk menyerupai rumah adat Simalungun. Sementara di ujung kapal induk, di tengah danau dapat dibuat kedai terapung yang menyajikan ikan mas bakar," tambah pengusaha keramba, Alexander Haloho.
   
Tinggal langkah selanjutnya, yang mungkin lebih sulit, adalah mengajak petani keramba bersama-sama menjaga kebersihan air danau dengan lebih disiplin, teratur, dan bersih. Yang pertama adalah tidak membuang bangkai ikan dan sampah lainnya ke dalam danau.

Di sini mungkin perlu penyuluhan, oleh Dinas Perikanan maupun Dinas Pariwisata, yang hingga saat ini belum pernah dirasakan masyarakat Haranggaol.

Harus disadari oleh pemilik keramba, air danau yang bersih bukan hanya menjadi kepentingan industri pariwisata. Akan tetapi, juga kepentingan petani keramba, supaya ikan dapat hidup sehat dan tidak terserang penyakit.

Dengan langkah demikian, pemilik pemondokan, cottage, dan losmen di Haranggaol dapat berharap tempatnya menjadi ramai. Setidaknya, sekitar sepuluh tempat penginapan sekitar satu-dua kilometer dari kawasan keramba tersebut tidak lagi kosong dan berdebu seperti saat ini.
 
Kompas menjadi satu-satunya penyewa saat menginap di cottage Sigumbagumba, Haranggaol. Hanya malam Minggu saja penginapan tersebut ramai pengunjung, yang kebanyakan datang berombongan menikmati ikan mas bakar sambil menghirup udara Haranggaol yang sejuk.

Menurut Saragih, hal itu sudah merupakan perkembangan besar bagi pariwisata Haranggaol. "Sebelum ada keramba, hampir tidak ada sama sekali wisatawan yang datang ke Haranggaol, sekarang setiap hari Sabtu-Minggu ramai orang berkunjung untuk bakar ikan mas," kata Saragih.
   
Hal tersebut dibenarkan oleh warga Haranggaol. Bahkan, setiap hari rata-rata datang seratusan orang dari berbagai kota seperti Pematang Siantar, Seribudolok, Kabanjahe, hingga Berastagi khusus untuk memancing ikan. Mereka memancing ikan di sekitar keramba, dengan membayar Rp 2.000 atau Rp 3.000 kepada pemilik keramba supaya diizinkan numpang berdiri di atas keramba.
   
Lokasi memancing paling banyak di Tanggabatu, Haranggaolpekan, dan Bandarseribu. "Sekarang, dari pukul 05.00 pagi sudah datang orang yang mau memancing," kata Edi Tondang yang warung kopinya kerap disinggahi pemancing.
   
Tidak ada catatan resmi mengenai jumlah kunjungan wisatawan ke daerah tersebut, namun menurut pengakuan masyarakat, suasana di Haranggaol justru menjadi lebih hidup dan ramai setelah ada keramba. Keramba memang telah merubah wajah Haranggaol. Pada malam hari Haranggaol tidak lagi gelap gulita, tetapi terang benderang oleh penerangan lampu listrik di atas keramba.

Dari kejauhan permukaan danau tampak berkerlap-kerlip indah, seindah harapan yang ditorehkan di tepi danau indah tersebut
◄ Newer Post Older Post ►