Dampak negatif pemberian pakan kepada ikan nila dalam Keramba Jaring Apung (KJA) di Medan, Danau Toba yang menyebabkan terkontaminasinya air danau tersebut, ternyata masih ada solusinya. Salah satunya adalah dengan pengembangan ikan bilih. Biasa disebut masyarakat setempat sebagai ikan Megawati.
“Ikan bilih yang berasal dari Sumatera Barat itu ternyata sangat tepat dikembangkan di Danau Toba. Karena ikan tersebut bisa menyerap pakan ikan yang diternakan dalam KJA yang selama ini ditengarai menjadi penyebab terkontaminasinya air danau,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut, Ir Yoseph Siswanto di sela-sela rapat Forum Pengembangan Usaha Budidaya Perikanan dan Kelautan se Wilayah Pantai Barat di Hotel Danau Toba Internasional Medan.
Dijelaskannya, pengembangbiakkan ikan bilih di Ajibata, Danau Toba dalam setahun terkahir telah berhasil berproduksi sebesar 30 ton. Dibandingkan di daerah asalnya, ikan bilih yang dikembangkan di Danau Toba ternyata lebih gemuk dan besar.
“Pengembangbiakan ikan bilih di Danau Toba saat ini sangat potensial karena makanan ikan ini didapat dari sisa pakan ikan yang dikembangkan dalam KJA. Selain itu, produksi ikan bilih di Danau Toba juga sangat diminati warga Sumbar. Karena, warga di sana bisa meningkatkan volume ekspor ikan tersebut ke Singapura mengingat ikan yang didatangkan dari Danau Toba itu lebih besar dibanding yang dikembangkan di daerah itu,” beber Yoseph.
Melihat prospektus pengembangbiakan ikan bilih ini, Yoseph mengaku pihaknya berencana memberikan bantuan proses packing (kemasan) kepada warga yang mengembangbiakan ikan tersebut di seputar Danau Toba. Solusi lain untuk mengatasi dugaan pencemaran air Danau Toba dari pakan ikan, juga disarankan Yoseph dengan pengembangan KJA bertingkat. Alternatif ini dimaksudkan agar penyerapan pakan ikan bisa lebih maksimal, ketimbang hanya dengan KJA tunggal. “Solusi terkahir yang sedang dimatangkan saat ini adalah penerapan perda tentang zonasi KJA di Danau Toba. Saat ini, regulasi tersebut masih dalam bentuk ranperda, karena kita (Dinas Perikanan dan Keluatan Sumut) masih menunggu masukan dari daerah di seputar Danau Toba.
Diharapkan dengan perda zonasi ini kelak, maka penataan dan ketentuan pemberikan pakan ikan akan lebih komprehensif,” tukasnya.
Data Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut menyebutkan, pengembang KJA di Danau Toba sejak 2006, selain melibatkan investor dalam negeri, juga menarik minat investor luar negeri.
Seperti PT Berkat Toba Farm (BTF) misalnya. Investor asal Jakarta ini telah menanam investasi Rp60 miliar untuk budidaya ikan Nila di Danau Toba. Bahkan PT BTF sudah menjalin Letter of Intent (LoI) dengan Pemkab Toba Samosir pada 6 November 2006 lalu.
Dari 100.013 hektar luas perairan Danau Toba, sekitar satu persen atau 10.013 hektar diberikan izin untuk zonasi pengembangan budidaya ikan air tawar. Zonasi 10.013 hektar ini mampu menampung 10.000 KJA ukuran enam kali enam meter. Dari zonasi 10.000 KJA di Danau Toba ini, hanya terisa sekitar 1.000 KJA lagi yang menunggu di isi. Karena sebanyak 6.400 KJA sudah isi berbagai pihak. Seperti PT BTF sebanyak 1.500 KJA, PT Aqua Farm Nusantara (AFN) sebanyak 600 KJA, dan masyarakat sebanyak 500 KJA.