Sepuluh tahun terakhir, kawasan Danau Toba mengalami kerusakan ekologis yang mengkhawatirkan. Kerusakan itu dipicu oleh faktor alam maupun manusia tidak bertanggungjawab. Kerusakan ini nyata-nyata mengancam ikon budaya maupun ekologi Sumatera Utara.
"Perubahan ekologis di kawasan ini cukup serius. Karena itu kami mengajak masyarakat bergabung dalam gerakan menyelamatkan Danau Toba. Kami ingin menunjukkan fakta sesungguhnya yang ada di lapangan," kata pengajar Universitas Sumatera Utara (USU) Irwan syah Harahap.
Irwansyah mengatakan dari pantauan komunitas earth society (ES) atau warga bumi-sebuah lembaga bentukan akademisi, budayawan, dan pemuda- telah terjadi kerusakan ekologis di sejumlah titik di Danau Toba. Penilaian ini didasarkan pada pengamatan langsung saat mengelilingi Danau Toba pada 14 sampai 17 Juli lalu.
Berdasarkan catatan ES, kerusakan ekologi itu terjadi di antaranya di Binanga Lom, Kabupaten Toba Samosir dan Silalahi, Kabupaten Dairi. Di dua daerah ini terjadi longsor yang serius. Tebing di dekat danau rontok langsung ke air danau. Bekasnya masih baru terlihat oleh siapapun yang melintasi daerah itu melalu jalur air.
ES mencatat fenomena ekologi yang mengkhawatirkan. Fenomena itu di antaranya munculnya jenis rumput baru yang sebelumnya tidak pernah dijumpai warga di Desa Sialagan, Kabupaten Samosir. Fenomena alam yang juga menjadi catatan ES adalah perkembangbiakan eceng gondok yang pesat. Pada sejumlah titik, salah satunya di Pangururan, Kabupaten Samosir, kumpulan eceng gondok itu membentuk seperti pulau di tengah danau.
Arah Jelas
Pemerhati Budaya Batak Thompson Hs mengatakan perlu sikap tegas pemerintah mengelola Danau Toba. Arah pengelolaan danau ini dia nilai masih belum jelas tujuannya. "Apakah mau dijadikan daerah kunjungan wisata atau daerah budidaya keramba ikan. Belum ada konsep yang jelas," katanya.
Warga Sialen, Kabupaten Toba Samosir, Ompu Monang Napitupulu membenarnya adanya kerusakan ekologis Danau Toba. Dia mengatakan adanya penyusutan air di tempat tinggalnya mencapai sekitar 100 meter.
"Dahulu daratan itu kami pakai untuk sawah. Sekarang tanahnya tidak ada air, menjadi tanah biasa," kata pria yang juga Ketua Partungkoan Batak Toba (Parbato).
Menurut dia, kerusakan ekologis itu terjadi lantaran adanya pembiaran perusakan hutan di kawasan tempat tinggalnya. Salah satu pembiaran itu antara lain penebangan kayu yang terjadi di sumber air Danau Toba. Kejadian ini terus berlangsung selama sepuluh tahun terakhir. Dia meminta agar perusakan hutan di sekitar danau ditindak secara hukum.