LONDON--Beredarnya bakteri berbahaya seperti Staphylococcus aureus, penyebab infeksi pada luka paska operasi, membuat peneliti mencari cara untuk mengembangkan antibodi yang mampu menghadang penyebarannya. Salah satunya dengan mengembangkan kulit katak sebagai bahan dasar pembuatan antibiotik.
Katak sengaja dipilih peneliti lantaran memiliki sistem pertahanan tubuh yang sangat baik dalam menghadapi lingkungan yang ekstrim. Peneliti optimis riset ini dapat memunculkan antibodi baru.
Tim riset kini berada di United Arab Emirates University untuk memodifikasi kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia. Sebelumnya, mereka berhasil menemukan 100 antibodi baru yang mampu menghadang penyebaran luka pascaoperasi akibat bakteri bernama methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri jenis ini telah banyak menyerang pasien yang baru saja menjalani operasi.
"Kulit katak merupakan sumber potensial dalam pembuatan antibiotik baru," ungkap Dr Michael Conlon, pakar biokimia, Universitas di Abu Dhabi.Conlon mengungkap katak telah ada di dunia lebih dari 300 juta tahun lalu. Oleh karena itu, katak dinilai mahluk yang memiliki resistensi terhadap perubahan alam.
Conlon berasumsi peneliti telah jatuh hati pada kulit katak lantaran kemampuannya beradaptasi dengan habitatnya yang kaya dengan bakteri, virus dan jamur. Maka dari itu, peneliti selama bertahun-tahun telah meneliti katak guna mendapatkan antibodi yang mampu menangkal virus, bakteri dan jamur.
Kini, buah kerja keras peneliti bakal memperoleh hasil. Selain antibodi, tim riset juga berkonsentrasi memanfaatkan sekresi kulit katak untuk menghadang serangan yang merusak enzim dalam darah. Dengan penemuan itu, antibiotik bakal bertahan lebih lama dalam aliran darah dan berpeluang besar menghambat infeksi.
Seiring riset berjalan, peneliti telah melakukan penyaringan cairan kulit 6.000 spesies katak. Sejauh ini, hampir 200 cairan dari 6.000 spesies telah dimurnikan dan diketahui struktur kimianya. Identifikasi ini merupakan pembuka kunci menuju pada pembuatan antibiotik. Salah satu keberhasilan peneliti adalah memetakan sekresi kulit Katak Foothill kuning yang terancam kepunahan dan katak bulu yang diyakini peneliti mampu menghadapi infeksi Acinetobacter Baumanni.
Katak sengaja dipilih peneliti lantaran memiliki sistem pertahanan tubuh yang sangat baik dalam menghadapi lingkungan yang ekstrim. Peneliti optimis riset ini dapat memunculkan antibodi baru.
Tim riset kini berada di United Arab Emirates University untuk memodifikasi kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia. Sebelumnya, mereka berhasil menemukan 100 antibodi baru yang mampu menghadang penyebaran luka pascaoperasi akibat bakteri bernama methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri jenis ini telah banyak menyerang pasien yang baru saja menjalani operasi.
"Kulit katak merupakan sumber potensial dalam pembuatan antibiotik baru," ungkap Dr Michael Conlon, pakar biokimia, Universitas di Abu Dhabi.Conlon mengungkap katak telah ada di dunia lebih dari 300 juta tahun lalu. Oleh karena itu, katak dinilai mahluk yang memiliki resistensi terhadap perubahan alam.
Conlon berasumsi peneliti telah jatuh hati pada kulit katak lantaran kemampuannya beradaptasi dengan habitatnya yang kaya dengan bakteri, virus dan jamur. Maka dari itu, peneliti selama bertahun-tahun telah meneliti katak guna mendapatkan antibodi yang mampu menangkal virus, bakteri dan jamur.
Kini, buah kerja keras peneliti bakal memperoleh hasil. Selain antibodi, tim riset juga berkonsentrasi memanfaatkan sekresi kulit katak untuk menghadang serangan yang merusak enzim dalam darah. Dengan penemuan itu, antibiotik bakal bertahan lebih lama dalam aliran darah dan berpeluang besar menghambat infeksi.
Seiring riset berjalan, peneliti telah melakukan penyaringan cairan kulit 6.000 spesies katak. Sejauh ini, hampir 200 cairan dari 6.000 spesies telah dimurnikan dan diketahui struktur kimianya. Identifikasi ini merupakan pembuka kunci menuju pada pembuatan antibiotik. Salah satu keberhasilan peneliti adalah memetakan sekresi kulit Katak Foothill kuning yang terancam kepunahan dan katak bulu yang diyakini peneliti mampu menghadapi infeksi Acinetobacter Baumanni.