Pemerintah Indonesia harus mengubah cara melihat pengembangan tanaman bunga atau florikultura yang semata-mata hanya sebagai kesibukan pedagang tanaman. Jepang diam-diam melihat potensi florikultura
Demikian diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Bunga
Beberapa waktu lalu, Asbindo menerima kedatangan sejumlah peneliti Jepang, antara lain Instruktur Senior Chiba Prefecture Inba Agriculture and Forestry Promotion Center Kotake Hisaku, Prof. Holticultural Plant Production and Physiology Gifu University Hirokazu Fukui, dan Presiden/CEO Lida Green Co Ltd Hisatoslii Iida.
Karen mengatakan, "Sejumlah pencinta sekaligus peneliti tanaman Jepang diam-diam sudah melakukan studi adanya peluang nilai tambah dari florikultura di
Di Jawa saja, menurut Karen, total lahan potensial seluas 9,1 juta hektar, yang terbagi sekitar 4,3 juta ha lahan padi dan sekitar 4,8 juta ha untuk lahan nonpadi. Akses kepemilikan lahan hanya 0,25 ha per orang, sedangkan standarnya 2 ha per orang.
Karen mengatakan, nilai ekonomi padi hanya Rp 10 juta per ha. Padahal, kalau petani didorong memperkuat florikultura, nilai ekonomi dari bunga krisan bisa Rp 200 juta per ha.
Pemerintah semestinya mendorong florikultura karena pengembangan florikultura mampu mendapatkan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan dan kemampuan petani, kesetaraan gender, industri kreatif, serta memberikan kontribusi pada produk domestik bruto.
Tahun 2008, perkembangan florikultura pada perdagangan dunia mencapai 90 miliar dollar AS. Pertumbuhan industri florikultura 6 - 9 persen.
India, misalnya, nilai ekspor florikultura dengan lahan seluas 103.000 ha bisa mencapai 83,67 juta dollar AS. Kenya dengan lahan 2.000 ha bisa menghasilkan nilai ekspor 350 juta dollar AS. Etiopia dengan 2.000 ha menghasilkan nilai ekspor 112 juta dollar AS. Sementara Indonesia baru memanfaatkan 100 ha dengan nilai ekspor 19 juta dollar AS.
Ketua Dewan Hortikultura Nasional Benny Kusbini mengatakan bahwa Jepang sudah mulai melirik