Bagi umat muslim Indonesia (terutama wong Jowo) dalam merayakan Idul Fitri atau Syawalan, rasanya kurang afdol dan mantap kalau di meja makan tidak tersaji lontong atau ketupat didampingi opor ayam, sambal goreng (isi krecek/kulit sapi atau daging dan jeroan sapi serta telur puyuh), semur atau rendang daging sapi dan lebih nikmat lagi kalau dilengkapi dengan sayur lodeh atau sayur gori (nangka muda), kerupuk udang atau kerupuk rambak. Makanan ini sudah disajikan secara turun-temurun sesuai tradisi yang telah berlaku sejak lama.
Pada jaman dulu sewaktu kita masih kecil, untuk menyantap hidangan “spesial” tersebut kita tidak perlu disuruh-suruh atau berpikir panjang untuk segera menyantapnya, bahkan kalau tidak tersaji di meja kita selalu bertanya-tanya kepada orang tua atau simbah-simbah (nenek) kita, "mengapa hidangan tersebut tidak disajikan?" Kalau sudah lama kita tidak menyantap dan merasakan hidangan tersebut rasanya kangen, ingin segera menyantapnya. Makanya bagi wong Jowo yang sedang “merantau di negeri orang”, hidangan tersebut akan selalu ngangeni karena rasanya yang khas dan spesial.
Namun saat sekarang, apabila didepan kita disajikan hidangan tersebut dan kita diminta untuk memakannya, kita jadi “berpikir panjang dan was-was”, mengingat latar belakang dan asal-muasal daging ayam, daging sapi dan jeroan sapi yang dipakai sebagai “bahan baku” patut dipertanyakan, apakah sehat, aman dan halal? Hal itu beralasan karena sudah sejak lama, bahkan sampai sekarang di pasaran di sekeliling kita masih banyak beredar “daging-daging bermasalah”, baik itu daging sapi glonggongan, daging sapi busuk, jeroan sapi berpenyakit, daging ayam berformalin, daging ayam bangkai atau daging sapi “imitasi” (berupa daging kuda yang disamarkan sebagai daging sapi) atau daging sapi yang dioplos dengan daging kuda, babi atau daging celeng (babi hutan). Tindakan “operasi pasar”/sweeping yang dilakukan oleh petugas dari dinas/instansi terkait (dinas pertanian, peternakan, kesehatan) yang secara berkala dilakukan (bahkan menjelang peringatan hari-hari besar semakin diintensifkan dan ditingkatkan), ternyata tidak membikin kapok dan jera penjual/pedagang “daging bermasalah”; karena memang tindakan yang diambil terhadap pelaku yang tertangkap tangan dan dinyatakan bersalah tidaklah tegas, hanya berupa “teguran atau peringatan keras” dilanjutkan dengan membuat surat pernyataan tidak akan mengulang kembali perbuatannya, tidak mempunyai konsekuensi berat dan efek jera bagi pelaku. Alasan klasik yang selalu melatarbelakangi “mengapa mereka tetap memperdagangkan daging-daging bermasalah” ke masyarakat adalah karena alasan ekonomi. Tentunya kita sebagai konsumen “penikmat daging” perlu ekstra hati-hati saat membeli daging di pasaran, jangan sampai kita salah dalam memilih daging yang akan kita makan, sehingga dibelakang hari setelah kita “menikmati makanan tradisi” tersebut buntutnya tidak panjang dan merugikan kesehatan jiwa (karena tidak halal) dan raga kita (karena tidak aman dan tidak sehat).
Daging ayam bangkai atau berformalin
Daging ayam bangkai atau biasa disebut ayam “tiren” (mati kemaren) atau ayam “duren” (dut=mati kemaren) biasanya berasal dari bangkai ayam yang mati (karena tertindih, kekurangan oksigen atau sebab lain yang tidak disengaja) saat dalam pengangkutan/transportasi dari kandang (peternak) ke bakul (penjual) atau pengolah daging ayam. Bangkai tersebut biasanya terus disembelih, dicabut bulu dan diproses seperti yang dilakukan pada ayam hidup, sampai menjadi siap jual dalam bentuk ayam potong utuh, “karkas” (ayam potong yang sudah dihilangkan kepala, kaki/ceker dan jeroan), atau berupa potongan-potongan daging ayam. Karena darah di dalam tubuh ayam bangkai sudah mulai membeku, maka saat disembelih darah tidak dapat tuntas keluar, sehingga sebagian besar masih berada di dalam tubuh. Hal ini akan berakibat pada penampakan (warna), tekstur dan bau daging yang dihasilkan; sehingga ciri-ciri dari daging ayam bangkai adalah : warna mata keruh; warna daging (kulit) merah gelap, terlihat ada lebam-lebam kebiruan seperti bekas kena pukulan; tekstur lembek; baunya anyir darah cenderung ke bau busuk. Daging ayam sehat bermata jernih dan cerah/bening; kulit berwarna putih atau kekuningan; tekstur kesat; baunya tidak anyir atau busuk. Pada daging ayam bangkai (atau yang sudah mulai busuk karena tidak laku), untuk mengelabui pembeli, biasanya direndam dalam air yang dicampur kunyit atau zat pewarna kuning, sehingga warna kulit nya menjadi seperti pada ayam sehat.
Daging ayam merupakan bahan makanan yang cepat rusak (busuk) karena kandungan air dan proteinnya tinggi dan nutrisinya lengkap, sehingga digolongkan dalam perishable food. Untuk mengawetkan atau memperpanjang daya simpan, penjual “nakal” ada yang mengawetkannya dengan cara merendam dalam larutan formalin. Formalin merupakan bahan pengawet bukan untuk makanan (non food grade), biasanya dipakai sebagai pengawet mayat atau sejenisnya; apabila masuk dalam tubuh (termakan) dalam jangka panjang akan beresiko menimbulkan tumor atau kanker. Daging ayam berformalin mempunyai ciri : berbau formalin yang khas (seperti bau-bau di kamar mayat); tekstur liat/keras; warna kulit agak putih; dagingnya cenderung tidak dikerubuti lalat.
Daging sapi glonggongan dan jeroan berpenyakit
Daging sapi glonggongan berasal dari sapi yang sebelum disembelih “diglonggong” atau dipaksa minum air sebanyak-banyaknya lewat selang plastik, sehingga kadang-kadang sampai mati kemlakaren (kembung) karena kebanyakan minum air. Di dalam tubuh air akan terserap ke dalam jaringan daging, sehingga setelah menjadi karkas dagingnya sangat berair (becek), bahkan sampai menetes-netes ke luar; makanya saat menjual daging tersebut tidak digantung, hanya diletakkan di atas meja dan kelihatan air mengalir terus dari dagingnya. Warna daging merah pucat; tekstur sangat lembek dan cepat membusuk; saat direbus/dimasak daging sangat menyusut beratnya (susut masak tinggi), karena air dari dalam daging banyak keluar terikut pula senyawa-senyawa nutrisi, sehingga konsumen sangat dirugikan dari segi berat dan nutrisi daging yang sangat berkurang.
Daging sapi yang baik warnanya merah cerah tidak pucat; seratnya halus; lemaknya berwarna kekuningan; bau normal (tidak berbau asam atau busuk); tekstur elastis, tidak lembek atau kering, jika dipegang terasa basah (nyemek=juicy) namun tidak lengket.
Jeroan (jantung, hati, babat, ginjal, paru, limpa, usus) beserta cingur, urat, kulit bersih, kaki bersih dan torpedo (testes) merupakan produk sisa prosesing daging ternak yang masih dimanfaatkan (dikonsumsi) sehingga disebut edible offals. Jeroan letaknya di dalam rongga dada dan perut, merupakan tempat mencerna dan menampung sisa-sisa makanan sehingga mengandung banyak bakteri. Setelah dikeluarkan dari tubuh, jeroan harus diperiksa apakah mengandung bakteri pathogen penyebab penyakit atau terkena infeksi cacing yang dapat menular pada manusia. Hati atau paru yang terkena infeksi cacing terasa agak keras, bila diiris terlihat adanya saluran-saluran yang sekelilingnya berwarna putih. Sebelum dikonsumsi, jeroan harus dibersihkan sebersih mungkin dan dimasak sampai benar-benar matang, sehingga bibit penyakit tuntas terbasmi.
Daging sapi imitasi dan oplosan
Seringkali terjadi daging kuda, babi atau celeng disamarkan atau dioplos dengan daging sapi dan dijual sebagai daging sapi. Pada saat-saat permintaan akan daging sapi tinggi, harganya cenderung melonjak tinggi pula, sehingga daging hewan lain cenderung disamarkan oleh penjual sebagai daging sapi agar harganya terdongkrak tinggi. Daging kuda berwarna merah gelap, tekstur liat dan seratnya lebih kasar, karena disembelih pada umur tua. Daging babi dan celeng berwarna merah pucat sampai merah terang; serat halus sampai agak kasar dan kompak; lemak putih dan mudah mencair pada suhu ruang serta baunya khas.
Tips membeli dan menyimpan daging
Belanja daging sebaiknya dilakukan sepagi mungkin agar bisa mendapatkan daging yang relatif masih segar, namun lakukan pembelian seakhir mungkin (saat menjelang pulang belanja) agar dapat sesegera mungkin sampai di rumah dan daging dapat segera ditangani/diproses. Belilah daging di depot/kios daging yang resmi atau di los pasar khusus daging; perhatikan kebersihan lingkungan tempat daging dijual; kebersihan peralatan dan penjual. Daging sapi yang dipotong resmi di RPH (Rumah Potong Hewan) sudah melalui pemeriksaan kesehatan ternak dan daging, disembelih secara halal, ditandai cap resmi pada permukaan daging menggunakan tinta biru. Apabila membeli daging ayam di pasar swalayan, belilah yang disimpan dalam tempat berpendingin (refrigerator) karena lebih terjaga dari kontaminasi mikroba dan pembusukan; amati bagian leher ayam, apakah terdapat bekas penyembelihan (yang sudah memutus saluran tenggorokan dan kerongkongan), bukan sekadar bekas tusukan atau bahkan utuh samasekali, agar lebih terjamin kehalalannya.
Untuk daging yang tidak langsung dimasak atau akan disimpan, cucilah dengan air bersih, potong-potong dan kemas rapat dalam kantung plastik transparan yang cukup tebal, masing-masing dengan ukuran/berat untuk sekali habis masak; kemudian simpan pada rak daging di dalam refrigerator (tahan disimpan 2 – 3 hari) atau disimpan beku di dalam freezer (tahan disimpan 3 – 6 bulan). Daging beku apabila akan dimasak, perlu dicairkan dahulu (di thawing) dengan cara dipindahkan ke dalam ruang pendingin sampai mencair, kemudian baru dikucur dengan air kran mengalir (masih di dalam plastik). Cara ini akan mengurangi keluarnya drip (cairan dari dalam daging) sehingga nutrisi daging dapat dipertahankan. Apabila daging tidak habis dimasak (tersisa), sisanya tidak boleh disimpan beku lagi, namun harus disimpan dalam keadaan dingin, karena mikroba pembusuk di dalam daging sisa telah aktif (hidup) kembali (Ads)