Besarnya potensi pasar obat & suplemen herbal di Indonesia ini, didukung sumber daya alam yang berlimpah. Keanekaragaman hayati di bumi pertiwi ini, menduduki peringkat dua dunia. Tidak kurang 30.000 spesies tumbuhan yang ada di Indonesia, dan 940 diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat. Dapatkah potensi besar ini, menggiring obat & suplemen herbal asli Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Potensi tanaman obat di Indonesia memang berlimpah. Sebut saja, misalnya, Provinsi Jawa Barat. Selama ini, ada 13 komoditas tanaman obat yang menjadi unggulan di Jabar, yaitu antara lain: jahe, laos, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, dan kapulaga. Pada 2007, produksi tanaman obat di Jabar mencapai 161.484 ton.
Histori tanaman herbal untuk obat, telah berlangsung ribuan tahun lalu. Bangsa Mesir kuno, misalnya, pada 2500 SM, telah menggunakan tanaman untuk obat-obatan. Cukup banyak resep tanaman obat, dan diagnosanya tercatat dalam Papyrus Ehers.
Hal yang sama dialami bangsa Yunani kuno, yang banyak menyimpan catatan penggunaan tanaman obat. Mereka itu, antara lain: Hyppocrates (466 SM), Theophrastus (372 SM) dan Pedanios Dioscorides (100 SM). Keterangan rinci mengenai ribuan tanaman obat, tercatat di buku De Materia Medica.
Bagaimana di Indonesia? Tanaman obat, juga sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, belum terdokumentasi secara baik pemanfaatannya. Pada pertengahan abad ke XVII, botanis, Jacobus Rontius (1592-1631), mengumumkan khasiat tumbuh-tumbuhan dalam bukunya De Indiae Untriusquere Naturali et Medica.
Meskipun hanya 60 jenis tumbuh-tumbuhan yang diteliti, tetapi buku ini merupakan dasar dari penelitian tumbuh-tumbuhan obat oleh N.A. van Rheede tot Draakestein (1637-1691), dalam bukunya Hortus Indicus Malabaricus.
Pada 1888, di Bogor didirikan Chemis Pharmacologisch Laboratorium, bagian dari Kebun Raya Bogor, yang bertujuan menyelidiki bahan-bahan atau zat-zat yang terkandung dalam tumbuhan yang dapat digunakan untuk obat-obatan. Setelah itu, penelitian dan publikasi mengenai khasiat tanaman obat-obatan semakin berkembang.
Adanya sumber daya tanaman obat yang berlimpah, tentunya menjadi keunggulan komparatif bagi Indonesia. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana keunggulan ini secara ekonomis dapat dimanfaatkan untuk menyehatkan bangsa.
Keunggulan Komparatif. Keunggulan komparatif melalui pengembangan obat asli Indonesia (Indonesian indigenous herbal medicines) harus dikelola, agar memenuhi tiga kriteria dasar Yaitu: layak pakai iptek (scientific and technologically viable), layak ekonomis (economically feasible) dan diterima oleh masyarakat luas termasuk masyarakat profesi kesehatan (socially acceptable).
Peluang itu demikian besar. Sebut saja Amerika Serikat, tingkat pertumbuhan pasar obat alami pada tahun 1993-1998, rata-rata sebesar 12%. Di Uni Eropa 8%, di wilayah Eropa lainnya sebesar 12%, di Jepang sebesar 15%, dan di Asia Tenggara sebesar 12%. Total nilai penjualan total bahan alami di seluruh dunia mencapai lebih dari USD 17 miliar pada 1998.
Herbal Resmi Digunakan di Rumah Sakit
Sudah banyak, obat herbal yang diproduksi perusahaan farmasi, seperti obat batu ginjal, penambah stamina dan meningkatkan daya tahan tubuh. Karena diproduksi oleh produsen farmasi, maka kandungan dari bahan herbal tersebut telah terstandarisasi, bahkan beberapa produk sudah memiliki sertifikat fitofarmaka. Hal ini, masih belum banyak yang diketahui oleh masyarakat.
Ada tiga kategori sediaan obat alami yang diterapkan pemerintah yaitu jamu, herbal terstandar (telah melalui dan lolos uji pre-klinik), dan fitofarmaka (telah melalui dan lolos uji klinik). Demikian antara lain dikemukakan Kepala Poli Obat Tradisional Indonesia RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Arijanto Jonosewoyo, Sp.PD, saat diwawancarai Indriana Widyastuti dari Kabar Sehat, di ruang kerjanya.
Menurut Dr. Arijanto, saat ini beberapa tanaman bisa digunakan untuk beberapa penyakit. Misalnya, Temulawak.
Tanaman ini peluangnya besar sekali. Tidak saja digunakan untuk meningkatkan nafsu makan, tetapi juga dapat digunakan untuk dismenorrhea (nyeri saat haid), serta bermanfaat bagi penderita hepatitis untuk memperbaiki fungsi hatinya.
“Kita tidak boleh menganggap remeh bahan-bahan herbal Indonesia,” lanjut Arijanto yang juga Ketua IPTAKI (Ikatan Pengobat Tradisional Alternatif Komplementer Indonesia) ini, seraya menambahkan, agar pemerintah dan perusahaan farmasi memproduksi obat herbal yang berasal dari tanaman obat asli Indonesia.
Saat ini, banyak obat herbal dari Cina masuk, juga dari India, karena globalisasi. “Padahal, kita juga punya obat herbal dengan kualitas yang tidak kalah baik. Sekarang ini, banyak obat-obatan Cina yang bahan bakunya justru dibeli dari Indonesia.”
Perhatian dunia terhadap suplemen atau obat herbal memang kian meningkat. Beberapa herbal Indonesia telah diekspor ke luar negeri, dan dimanfaatkan untuk penelitian, dikembangkan, diproduksi, kemudian dipasarkan.
Bahkan, di Cina karena didukung dengan pengawasan yang baik, banyak obat herbal yang telah digunakan di rumah sakit sebagai bagian dari proses pengobatan formal. Di Indonesia, model seperti ini, juga sudah diterapkan, yaitu di Poli Klinik Obat Tradisional Indonesia (OTI), RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Sebagaimana dituturkan oleh Dr. Arijanto, pasien-pasien yang ditangani di Poli OTI, RS Dr. Soetomo, antara lain penderita penyakit hepatitis, asma, asam urat, hipertensi, rheumatik, diberikan obat-obat herbal asli Indonesia. Ini kabar yang menggembirakan, dimana obat herbal telah masuk dalam prosedur pengobatan formal di rumah sakit.
Hal lain yang juga menjadi nilai tambah dari produk obat dan suplemen dari herbal adalah minimnya efek samping. Semoga obat dan suplemen herbal Indonesia, tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak tergerus oleh produk impor yang kini memang terus merangsek masuk ke pasar Indonesia.
(Sumber: Karyanto. KABAR SEHAT, Edisi 002, Juli – September 2008
Potensi tanaman obat di Indonesia memang berlimpah. Sebut saja, misalnya, Provinsi Jawa Barat. Selama ini, ada 13 komoditas tanaman obat yang menjadi unggulan di Jabar, yaitu antara lain: jahe, laos, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, dan kapulaga. Pada 2007, produksi tanaman obat di Jabar mencapai 161.484 ton.
Histori tanaman herbal untuk obat, telah berlangsung ribuan tahun lalu. Bangsa Mesir kuno, misalnya, pada 2500 SM, telah menggunakan tanaman untuk obat-obatan. Cukup banyak resep tanaman obat, dan diagnosanya tercatat dalam Papyrus Ehers.
Hal yang sama dialami bangsa Yunani kuno, yang banyak menyimpan catatan penggunaan tanaman obat. Mereka itu, antara lain: Hyppocrates (466 SM), Theophrastus (372 SM) dan Pedanios Dioscorides (100 SM). Keterangan rinci mengenai ribuan tanaman obat, tercatat di buku De Materia Medica.
Bagaimana di Indonesia? Tanaman obat, juga sudah digunakan sejak ratusan tahun lalu. Hanya saja, belum terdokumentasi secara baik pemanfaatannya. Pada pertengahan abad ke XVII, botanis, Jacobus Rontius (1592-1631), mengumumkan khasiat tumbuh-tumbuhan dalam bukunya De Indiae Untriusquere Naturali et Medica.
Meskipun hanya 60 jenis tumbuh-tumbuhan yang diteliti, tetapi buku ini merupakan dasar dari penelitian tumbuh-tumbuhan obat oleh N.A. van Rheede tot Draakestein (1637-1691), dalam bukunya Hortus Indicus Malabaricus.
Pada 1888, di Bogor didirikan Chemis Pharmacologisch Laboratorium, bagian dari Kebun Raya Bogor, yang bertujuan menyelidiki bahan-bahan atau zat-zat yang terkandung dalam tumbuhan yang dapat digunakan untuk obat-obatan. Setelah itu, penelitian dan publikasi mengenai khasiat tanaman obat-obatan semakin berkembang.
Adanya sumber daya tanaman obat yang berlimpah, tentunya menjadi keunggulan komparatif bagi Indonesia. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana keunggulan ini secara ekonomis dapat dimanfaatkan untuk menyehatkan bangsa.
Keunggulan Komparatif. Keunggulan komparatif melalui pengembangan obat asli Indonesia (Indonesian indigenous herbal medicines) harus dikelola, agar memenuhi tiga kriteria dasar Yaitu: layak pakai iptek (scientific and technologically viable), layak ekonomis (economically feasible) dan diterima oleh masyarakat luas termasuk masyarakat profesi kesehatan (socially acceptable).
Peluang itu demikian besar. Sebut saja Amerika Serikat, tingkat pertumbuhan pasar obat alami pada tahun 1993-1998, rata-rata sebesar 12%. Di Uni Eropa 8%, di wilayah Eropa lainnya sebesar 12%, di Jepang sebesar 15%, dan di Asia Tenggara sebesar 12%. Total nilai penjualan total bahan alami di seluruh dunia mencapai lebih dari USD 17 miliar pada 1998.
Herbal Resmi Digunakan di Rumah Sakit
Sudah banyak, obat herbal yang diproduksi perusahaan farmasi, seperti obat batu ginjal, penambah stamina dan meningkatkan daya tahan tubuh. Karena diproduksi oleh produsen farmasi, maka kandungan dari bahan herbal tersebut telah terstandarisasi, bahkan beberapa produk sudah memiliki sertifikat fitofarmaka. Hal ini, masih belum banyak yang diketahui oleh masyarakat.
Ada tiga kategori sediaan obat alami yang diterapkan pemerintah yaitu jamu, herbal terstandar (telah melalui dan lolos uji pre-klinik), dan fitofarmaka (telah melalui dan lolos uji klinik). Demikian antara lain dikemukakan Kepala Poli Obat Tradisional Indonesia RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Dr. Arijanto Jonosewoyo, Sp.PD, saat diwawancarai Indriana Widyastuti dari Kabar Sehat, di ruang kerjanya.
Menurut Dr. Arijanto, saat ini beberapa tanaman bisa digunakan untuk beberapa penyakit. Misalnya, Temulawak.
Tanaman ini peluangnya besar sekali. Tidak saja digunakan untuk meningkatkan nafsu makan, tetapi juga dapat digunakan untuk dismenorrhea (nyeri saat haid), serta bermanfaat bagi penderita hepatitis untuk memperbaiki fungsi hatinya.
“Kita tidak boleh menganggap remeh bahan-bahan herbal Indonesia,” lanjut Arijanto yang juga Ketua IPTAKI (Ikatan Pengobat Tradisional Alternatif Komplementer Indonesia) ini, seraya menambahkan, agar pemerintah dan perusahaan farmasi memproduksi obat herbal yang berasal dari tanaman obat asli Indonesia.
Saat ini, banyak obat herbal dari Cina masuk, juga dari India, karena globalisasi. “Padahal, kita juga punya obat herbal dengan kualitas yang tidak kalah baik. Sekarang ini, banyak obat-obatan Cina yang bahan bakunya justru dibeli dari Indonesia.”
Perhatian dunia terhadap suplemen atau obat herbal memang kian meningkat. Beberapa herbal Indonesia telah diekspor ke luar negeri, dan dimanfaatkan untuk penelitian, dikembangkan, diproduksi, kemudian dipasarkan.
Bahkan, di Cina karena didukung dengan pengawasan yang baik, banyak obat herbal yang telah digunakan di rumah sakit sebagai bagian dari proses pengobatan formal. Di Indonesia, model seperti ini, juga sudah diterapkan, yaitu di Poli Klinik Obat Tradisional Indonesia (OTI), RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
Sebagaimana dituturkan oleh Dr. Arijanto, pasien-pasien yang ditangani di Poli OTI, RS Dr. Soetomo, antara lain penderita penyakit hepatitis, asma, asam urat, hipertensi, rheumatik, diberikan obat-obat herbal asli Indonesia. Ini kabar yang menggembirakan, dimana obat herbal telah masuk dalam prosedur pengobatan formal di rumah sakit.
Hal lain yang juga menjadi nilai tambah dari produk obat dan suplemen dari herbal adalah minimnya efek samping. Semoga obat dan suplemen herbal Indonesia, tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak tergerus oleh produk impor yang kini memang terus merangsek masuk ke pasar Indonesia.
(Sumber: Karyanto. KABAR SEHAT, Edisi 002, Juli – September 2008