Suatu   hari, pencarian dengan istilah “istri pertama Bung Karno” yang “nyasar”   ke blog ini jumlahnya mencapai 49. Ditambah banyaknya pertanyaan “Siapa   istri pertama Bung Karno?”, mengerucutkan saya pada kesimpulan, masih   banyak yang belum tahu siapa istri pertama Bung Karno.
Peristiwa  kedua  terjadi setelah Bung Karno masuk masjid, tempat untuk melakukan  prosesi  ijab dan kabul. Dengan khidmat ia duduk di muka kadi (penghulu).  Pak kadimemandangi calon mempelai laki-laki yang begitu necis,  berdasi pula. Berkatalah tuan kadi, “Anak muda, dasi adalah  pakaian orang yang beragama Kristen, dan tidak sesuai dengan kebiasaan  kita dalam agama Islam.”
Demi melengkapi puzzle sejarah  tentang Bung Karno, maka kisah pernikahan Bung Karno dengan  istri  pertama, harus ada. Demi alasan itu pula, naskah pendek ini  ditulis.
Syahdan…  permulaan tahun 1921, usia Bung  Karno belum genap 21 tahun ketika adik  H.O.S. Cokroaminoto menemuinya,  dengan satu maksud, membujuk Sukarno  agar mau menikahi putri  Cokroaminoto yang bernama Utari, Siti Utari,  yang ketika itu usianya  belum genap 16 tahun.
Adik  Cokro  itu berdalih, sejak ditinggal mati istrinya, Cokroaminoto  seperti  limbung, tak bersemangat, bagaikan layang-layang putus talinya.  Ia harus  mengurus rumah pondokan, mengurus Partai Sarekat Islam, dan  tentu saja  membesarkan empat putra-putrinya. Lebih dari itu, Cokro  sangat  merisaukan masa depan putrinya.
“Ya,   saya sangat berterima kasih kepada pak Cokro. Saya mencintai Utari…   tapi tidak terlalu cinta. Sungguhpun begitu, kalau sekiranya cara ini   dapat meringankan beban junjunganku, yah… saya bersedia,” Bung Karno   mengakhiri dialog dengan paman Utari.
Tak  lama setelah peristiwa itu, Bung Karno menghadap Cokro dan   mengemukakan lamarannya. Cokro sangat gembira dan menyambut dengan hati   berbunga. Demi calon menantu, Bung Karno langsung diminta pindah   menempati kamar yang lebih besar, dengan perabot yang lebih lengkap.
Bandingkan…  sebelumnya, di antara 8 penghuni  kamar-kamar kos di rumah Cokro, hanya  Sukarno yang menempati kamar  paling sempit, tak berjendela dan tak  berpintu. Karenanya, dalam  penuturan kepada Cindy Adams di biografinya,  Bung Karno mengisahkan,  saking gelap dan pengapnya kamar yang ia huni,  ia harus menyalakan lampu  minyak siang hari sekalipun.
Selang   beberpa hari kemudian, pernikahan Bung Karno dan Utari digelar.   Pernikahan itu dinamakan “kawin gantung”, sebuah ikatan perkawinan yang   sah menurut hukum maupun agama Islam. Orang Indonesia menjalankan cara   ini karena beberapa alasan. Misalnya, sepasang laki-laki dan perempuan   disatukan dalam ikatan “kawin gantung” terlebih dulu, karena keduanya   belum cukup umur untuk dapat menunaikan kewajiban mereka secara   jasmaniah. Atau, ada kalanya “kawin gantung” dilangsungkan, dengan cara   mempelai wanita tetap tinggal di rumah orang tuanya, sampai mempelai   laki-laki sanggup membelanjai rumah tangga sendiri.
Dalam  hal Sukarno dan Utari? Begini  penjelasan dia, “Aku dapat tidur dengan  istriku kalau aku menghendaki.  Akan tetapi aku tidak melakukannya  karena dia masih kanak-kanak. Boleh  jadi aku seorang pencinta, tetapi  aku bukanlah seorang pembunuh anak  gadis remaja. Itulah sebabnya kami  melakukan kawin gantung. Pesta  kawinnya pun digantung.”
Nah,  ini  yang lebih menarik. Sebelum ijab kabul dilangsungkan, terjadi dua   peristiwa menarik dan takkan terlupakan oleh Sukarno. Pertama, untuk   menghilangkan nervous, ia mengambil sebatang rokok, dan   mengeluarkan sekotak korek api kayu. Rokok sudah terselip di antara   bibir, dan Sukarno mengambil satu batang korek api, kemudian   menggesekkannya di bagian pinggir. Apa yang terjadi? Syssstttt…buullll…   nyala api menyambar batang-batang korek api yang lain di dalam kotak,   dan terbakarlah tangan Sukarno.
Sambil   meniup-niup jari-jarinya yang terbakar, Bung Karno menggumam sendiri,   “Apa maksudnya ini?” Di benak  Bung Karno langsung berkecamuk   ramalan-ramalan buruk, isyarat-isyarat gelap, pertanda-pertanda   ketidakberuntungan. Akan tetapi, Sukarno muda memendamnya sendiri.
Peristiwa  kedua  terjadi setelah Bung Karno masuk masjid, tempat untuk melakukan  prosesi  ijab dan kabul. Dengan khidmat ia duduk di muka kadi (penghulu).  Pak kadimemandangi calon mempelai laki-laki yang begitu necis,  berdasi pula. Berkatalah tuan kadi, “Anak muda, dasi adalah  pakaian orang yang beragama Kristen, dan tidak sesuai dengan kebiasaan  kita dalam agama Islam.”Bung Karno  kaget, dan membalas, “Tuan kadi,  saya menyadari, bahwa dulunya  mempelai hanya memakai pakaian  Bumiputera, yaitu sarung. Tapi ini  adalah cara lama. Aturannya sekarang  sudah diperbarui.”
“Ya!” kata tuan kadi membentak, “tetapi  pembaruan itu hanya untuk memakai pantalon dan jas buka.”
“Adalah kegemaran saya untuk berpakaian rapi  dan memakai dasi,” tukas Bung Karno tak kalah tajam.
“Kalau masih terus berkeras kepala untuk  berpakaian rapi itu, saya menolak untuk melakukan pernikahan…”
Bung Karno bangkit dari kursi dan berkata  keras, “Barangkali lebih baik tidak kita lanjutkan…!”
Imam masjid sepertinya mendukung tuan kadi dan  melancarkan protes atas sikap Sukarno yang berkeras tidak mau melepas  dasi dan menentang tuan kadi.  Yang diprotes lebih galak dalam  menanggapi, “Persetan , tuan-tuan  semua. Saya pemberontak, dan saya akan  selalu memberontak. Saya tidak  mau didikte orang di hari perkawinan  saya.”
Akhirnya…  berkat salah  seorang alim ulama yang berhasil meredakan ketegangan,  pernikahan  akhirnya berlangsung, dengan Bung Karno tetap mengenakan  dasi.